Menguak Tabir Sejarah Bungku: Warisan Kerajaan yang Menanti Penyelamatan

April 15, 2025 - 03:15
April 15, 2025 - 03:24
 0  19
Menguak Tabir Sejarah Bungku: Warisan Kerajaan yang Menanti Penyelamatan
Gambar Ilustrasi Masjid Tua Bungku

Oleh: Syakir Mahid
Sumber: Blog Syakir Mahid

Di balik gemuruh modernisasi, Kabupaten Morowali menyimpan puzzle sejarah yang belum terselesaikan: Kerajaan Bungku. Sejak abad ke-17, nama Bungku (dalam catatan Portugis: Tobuguo dan Belanda: Tambuku/Tombuku) telah menjadi saksi peradaban yang kini terancam dilupakan. Syakir Mahid, dalam makalahnya yang dipublikasikan pada 28 Oktober 2010, mengungkap kompleksitas sejarah dan budaya Bungku yang masih bergantung pada cerita lisan, dengan dokumen tertulis tersebar di arsip nasional hingga Leiden, Belanda.


Dari Sangiang Kinambuka hingga Kolonialisme

Kerajaan Bungku, menurut tradisi lisan, dipimpin oleh 13 raja dari garis keturunan Sangiang Kinambuka, penguasa pertama yang diyakini sebagai keturunan mitologis. Raja-raja Bungku menggunakan gelar Pea Pua (penguasa) dan Kasili (gelar bernuansa Islam), mencerminkan pergeseran pengaruh budaya dan politik:

  1. Era Mitologis: Dipimpin raja seperti Sangiang Kinambuka

  2. Era Kolonial: Pada 1682, Belanda mengambil alih Bungku dari Kesultanan Ternate. Raja ke-8, Kasili Maloku Tondu Le-Obi (1674), menjadi simbol awal intervensi asing.

  3. Transisi ke NKRI: Raja terakhir, Abddurabbie (1938–1950), menandai akhir era kerajaan dan awal integrasi ke Indonesia.

“Tanpa penelitian mendalam oleh generasi muda, sejarah Bungku hanya akan menjadi mitos,” tulis Syakir Mahid dalam makalahnya.


Tujuh Pilar Kebudayaan Bungku

Masyarakat Bungku memiliki kekayaan budaya yang terstruktur dalam tujuh unsur universal:

  1. Sistem Religi: Percampuran Islam Sufi dengan tradisi lokal, seperti ritual metatulungi (tolak bala) dan peran Sando (dukun).

  2. Stratifikasi Sosial: Terdiri dari Pea Pua (raja), Mokole (bangsawan), dan Ata (rakyat/budak).

  3. Bahasa Bertingkat: Bahasa Bungku memiliki empat tingkatan, dari halus (bahasa raja) hingga kasar.

  4. Seni Bela Diri: Kontau dan Manca (silat tradisional) yang masih dilestarikan.

  5. Gotong Royong: Tradisi metapoko-poko fali menjadi tulang punggung solidaritas sosial.

  6. Nilai Luhur: Samaturu (kerukunan), Kona’adati (sopan santun), dan Moleo (kejujuran) menjadi pedoman hidup.

  7. Teknologi Tradisional: Alat pertanian dan rumah adat berbahan kayu ulin.

Baratantonga tompano pandeanto (seimbangkan pengetahuan dan keterampilan) adalah filosofi yang kini mulai memudar,” tulis Syakir.


Ancaman Kepunahan dan Upaya Revitalisasi

Syakir Mahid mencatat tiga tantangan utama:

  1. Minimnya Dokumentasi: Hanya 10% sejarah Bungku yang terdokumentasi.

  2. Degradasi Bahasa: Hanya generasi tua yang menguasai bahasa Bungku tingkat halus.

  3. Tergerus Modernisasi: Generasi muda lebih tertarik pada budaya pop ketimbang tradisi.

Upaya penyelamatan mulai dilakukan, seperti:

  • Digitalisasi Cerita Lisan: Kolaborasi LSM dan akademisi merekam kisah para tetua.

  • Festival Budaya Tahunan: Memperkenalkan tarian ndengu-ndengu dan seni bela diri kontau.

  • Pemugaran Situs: Bekas istana raja di Kelurahan Bungi direvitalisasi sebagai cagar budaya.


Panggilan untuk Generasi Muda

Dalam epilognya, Syakir mengajak refleksi: “Akankah semangat samaturu pemuda Bungku yang melawan Belanda dan Kahar Muzakar bisa kembali bangkit?” Ia menekankan perlunya penelitian multidisiplin dan pendekatan diakronik-kronologis ala Sartono Kartodirdjo untuk merekonstruksi sejarah Bungku secara utuh.


Daftar Pustaka

  • Mahid, Syakir. (2010). Sejarah dan Budaya Masyarakat Bungku. Blog Pribadi.

  • Arsip Kolonial Belanda tentang Tambuku/Tombuku.

  • Koentjaraningrat. (1980). Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.


Artikel ini merupakan adaptasi dari makalah Syakir Mahid. Untuk versi lengkap, kunjungi Blog Syakir Mahid.