Dua Motif Tenun Khas Resmi Terdaftar Hak Cipta, Siapa Sosok di Baliknya?
Dua motif tenun khas Morowali, Ikzara Kona’engke dan Ikzara Kuluri, resmi terdaftar hak cipta sebagai langkah pelestarian budaya oleh Pemkab Morowali.

Bungku Tengah – Sejarah baru tercipta di Kabupaten Morowali. Dua motif tenun khas daerah ini, Ikzara Kona’engke dan Ikzara Kuluri, kini resmi mendapatkan perlindungan hukum melalui pencatatan Hak Cipta oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Penyerahan sertifikat hak cipta dilakukan pada Rakor, Silaturahmi, dan Diskusi Kekayaan Intelektual di ruang rapat Kantor Bupati Morowali, Selasa (22/7/2025). Acara ini dipimpin Wakil Bupati Morowali Iriane Ilyas, dan dihadiri oleh Kepala Kanwil Kemenkumham Sulawesi Tengah, Rakhmat Renaldy, ibu aida bersama jajaran Pemda Morowali, pelaku budaya,TP PKK dan pengrajin tenun.
“Ini bukan sekadar dokumen, tapi pengakuan hukum atas identitas dan martabat budaya kita. Tenun, lagu daerah, desain lokal,makanan tradisional ,semua ini harus kita lindungi sejak dini agar tidak dibajak,” ujar Iriane dalam sambutannya.
Siapa Sosok di Balik Motif Tenun Ikzara?
Pertanyaan ini akhirnya terjawab. Berdasarkan Surat Pencatatan Ciptaan Nomor 000925031, karya seni motif ini diciptakan oleh:
- Darmayanti – Desa Labota, Bahodopi
- Wirda Rosanti – Desa Bente, Bungku Tengah
- Nursia – Kelurahan Tofoiso, Bungku Tengah
- Asmunandar, SS, MA – Arkeolog dan akademisi, Kota Makassar
- Ahmad Azhar – Pemerhati sejarah, pendamping peneliti jepang
Para pencipta ini tidak hanya mendesain motif semata, tetapi menghidupkan kembali warisan visual dari temuan arkeologis situs Topogaro. Motif gelombang dan titik-titik simetris yang pernah menghiasi gerabah kuno kini menjelma menjadi pola pada kain tenun. Filosofinya sarat makna: gelombang air melambangkan kehidupan, sementara titik-titik menyerupai benih adalah simbol kesuburan dan harapan.
Motif Ikzara Kona’engke dan Kuluri bukan hanya kain, tetapi narasi budaya yang merangkai masa lalu dan masa kini. Perempuan penenun mengekspresikan sejarah melalui benang kapas alami dengan pewarna dari bahan alam seperti nila dan kulit kayu. Inilah pelestarian budaya yang hidup, bukan sekadar arsip.
Pemkab Morowali melalui TP PKK dan Dekranasda, dengan dukungan Dewan Adat Tobungku, memastikan program ini berlanjut. “Kami ingin masyarakat sadar akan pentingnya mendaftarkan karya mereka. Hak cipta adalah hak dasar yang wajib dihormati,” tegas Kepala Kanwil Kemenkumham.
Dengan ini, Morowali tidak lagi hanya dikenal sebagai penghasil nikel, tetapi juga penggerak perlindungan budaya dan inovasi lokal. Semoga langkah ini menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk melindungi kekayaan intelektual yang lahir dari tanah air.