Hutan Rusak, Emisi Naik: Morowali dan Morut Catat 5 Juta Ton CO₂e Setiap Tahun

Sinyal bahaya bagi keseimbangan iklim di Sulawesi Tengah, di mana deforestasi akibat tambang nikel, perkebunan, dan perluasan industri menjadi penyebab utama. Pemerintah daerah diimbau untuk segera memperkuat kebijakan mitigasi dan rehabilitasi hutan agar fungsi ekologis dapat dipulihkan.

Oktober 12, 2025 - 16:32
 0  42
Hutan Rusak, Emisi Naik: Morowali dan Morut Catat 5 Juta Ton CO₂e Setiap Tahun
Global Forest Watch (GFW) – “Greenhouse Gas Fluxes from Forests in Morowali and North Morowali

Bungku Tengah Hutan di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara (Morut) yang selama ini dikenal sebagai paru-paru hijau Sulawesi Tengah kini mulai kehilangan kemampuan alaminya untuk menahan karbon. Berdasarkan data terbaru Global Forest Watch (GFW), antara tahun 2001 hingga 2024, hutan di dua kabupaten ini mengemisikan rata-rata 5,01 juta ton CO₂e per tahun, sementara hanya mampu menyerap kembali sekitar -2,45 juta ton CO₂e per tahun.

Kondisi ini menjadikan Morowali dan Morowali Utara sebagai penyumbang bersih (net carbon source) sebesar 2,56 juta ton CO₂e per tahun, atau lebih dari 120 juta ton emisi karbon dioksida ekuivalen selama dua dekade terakhir.

Dari Penyerap Menjadi Pemberi: Pergeseran Peran Ekologis

Secara ekologis, hutan tropis berperan sebagai penyeimbang iklim global, menyerap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer dan menyimpannya di dalam biomassa pohon serta tanah. Namun, di Morowali dan Morowali Utara, fungsi alami ini kini terganggu.

Deforestasi, ekspansi industri nikel, serta konversi lahan menjadi perkebunan menyebabkan kemampuan hutan untuk menjadi penyerap karbon (carbon sink) berubah menjadi penyumbang karbon (carbon source).

Fluks karbon netto sebesar +2,56 MtCO₂e/tahun menandakan bahwa hutan di wilayah ini melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer daripada yang mampu diserapnya, sebuah sinyal bahaya bagi stabilitas iklim regional.

Emisi Setara 1,5 Juta Mobil Setiap Tahun

Jumlah emisi tahunan sebesar 5,01 juta ton CO₂e setara dengan emisi gas buang dari lebih dari 1,5 juta mobil yang beroperasi selama satu tahun penuh. Angka ini menunjukkan skala besar dampak aktivitas manusia terhadap lanskap ekologis Morowali dan Morut.

Sumber emisi terbesar berasal dari hilangnya tutupan pohon di kawasan berhutan lebat, khususnya di area dengan kanopi pohon lebih dari 30%. Ketika pohon ditebang, dibakar, atau tergantikan oleh lahan industri, karbon yang tersimpan di dalam biomassa dilepaskan kembali ke atmosfer.

Korelasi dengan Aktivitas Tambang dan Perkebunan

Morowali dan Morowali Utara dikenal sebagai pusat industri nikel terbesar di Indonesia. Pembangunan smelter, pembukaan jalan tambang, serta perluasan kawasan industri di pesisir Bahodopi, Bungku Timur, dan Petasia Timur telah mengubah lanskap hutan alami menjadi lahan terdegradasi.

Menurut analisis GFW, sebagian besar pelepasan karbon berasal dari deforestasi akibat ekspansi komoditas keras (hard commodities) seperti tambang dan perkebunan. Aktivitas ini tidak hanya menurunkan kapasitas serapan karbon, tetapi juga meningkatkan risiko kebakaran hutan dan degradasi tanah.

Sinyal Bahaya Iklim Regional

Dengan total 120 juta ton emisi CO₂e yang dilepaskan dalam 23 tahun terakhir, Kabupaten Morowali dan Morowali Utara kini berada di titik kritis dalam siklus iklimnya.

Jika tren deforestasi dan degradasi hutan ini terus berlanjut, dampaknya tidak hanya akan dirasakan secara lokal tetapi juga berkontribusi terhadap peningkatan suhu global dan ketidakstabilan iklim regional.

Fenomena yang kini terlihat meliputi perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu udara ekstrem, serta meningkatnya kejadian banjir dan longsor di wilayah hilir sungai tambang.

Langkah Mitigasi yang Mendesak

Pemerintah daerah bersama kementerian terkait perlu mengambil langkah strategis untuk mengembalikan fungsi ekologis hutan di Morowali dan Morut. Upaya seperti rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), reforestasi berbasis masyarakat, serta pengendalian izin pertambangan di kawasan resapan air menjadi prioritas mendesak.

Selain itu, penerapan standar emisi industri yang ketat dan penegakan hukum lingkungan yang tegas harus dilakukan agar tidak sekadar menjadi simbol administratif, tetapi benar-benar berdampak pada penurunan emisi karbon.

Kabupaten Morowali dan Morowali Utara adalah cermin dari dilema antara pembangunan ekonomi dan kelestarian ekologis. Dari penyerap karbon kini menjadi penyumbang karbon, dari paru-paru hijau menjadi sumber panas global.

Tanpa intervensi nyata dan kebijakan lingkungan yang kuat, 2,56 juta ton CO₂e yang dilepaskan setiap tahun akan menjadi warisan ekologis yang berat bagi generasi berikutnya.