Aliansi Tepeasa Moroso Tegas Tolak Kehadiran PT Dua Saudara Nikelindo di Bungku Tengah
Sosialisasi PT Dua Saudara Nikelindo di Desa Lanona, Bungku Tengah, berakhir tanpa kesepakatan. Warga menolak tawaran ganti rugi lahan Rp3.000/m² dan menuntut Rp50.000/m². Aliansi Tepeasa Moroso menegaskan Bungku Tengah sebagai wilayah perkotaan yang harus steril dari tambang nikel.

Bungku Tengah, 3 Oktober 2025 — Sosialisasi yang digelar PT Dua Saudara Nikelindo pada 28 September 2025 di Desa Lanona, Kecamatan Bungku Tengah, berakhir tanpa kesepakatan. Perusahaan tambang nikel dengan konsesi lahan seluas 1.535 hektare di Bungku Barat dan Bungku Tengah itu gagal menemukan titik temu dengan warga terkait ganti rugi lahan.
PT Dua Saudara Nikelindo menawarkan kompensasi Rp3.000 per meter atau Rp30 juta per hektare, mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun, warga menolak dan meminta harga Rp50.000 per meter atau Rp500 juta per hektare.
Lebih dari sekadar soal harga, Aliansi Tepeasa Moroso menegaskan penolakan mutlak terhadap kehadiran industri pertambangan di Bungku Tengah. Koordinator aliansi, Taufik Tamauka, menilai wilayah tersebut telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagai kawasan perkotaan yang seharusnya steril dari aktivitas ekstraktif.
“Bungku Tengah adalah ruang hidup terakhir yang tersisa. Orang tua kami membesarkan kami dari hasil pertanian, bukan hasil tambang. Jangan biarkan wilayah ini dirusak,” tegas Taufik.
Ia juga menekankan bahwa Bungku Tengah memiliki peran penting sebagai pusat pertanian, perikanan, dan kelautan masyarakat Morowali. Oleh sebab itu, ia mengajak seluruh pemuda, mahasiswa, dan elemen masyarakat untuk bersatu menjaga Bungku Tengah dari ancaman industri pertambangan.
Dengan sikap penolakan ini, masa depan konsesi PT Dua Saudara Nikelindo di Bungku Tengah dipastikan menghadapi perlawanan kuat masyarakat, terutama dari barisan aliansi yang berkomitmen menjaga ruang hidup dari ekspansi industri tambang.