Kematian Senyap Hutan Bakau: Potret Buram Masa Depan Pesisir Bungku

Analisis spasial terbaru menyingkap degradasi ekologis yang masif di wilayah konsesi PT TAS, di mana hutan mangrove yang sehat lenyap hingga separuhnya dalam enam tahun terakhir.

Desember 12, 2025 - 04:38
Desember 12, 2025 - 04:43
 0  16
Kematian Senyap Hutan Bakau: Potret Buram Masa Depan Pesisir Bungku
BUNGKU PESISIR – Di pesisir Desa Torete, Kecamatan Bungku Pesisir, benteng pertahanan alami yang melindungi daratan dari abrasi perlahan menghilang. Laporan analisis lingkungan terbaru yang dirilis bulan ini mengungkap realitas suram di balik aktivitas industri di wilayah tersebut: ekosistem mangrove di kawasan Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT TAS sedang mengalami kematian perlahan. Peta Sebaran Mangrove

Data satelit yang membandingkan kondisi tahun 2019 hingga 2025 menunjukkan penurunan drastis kesehatan ekosistem pesisir. Temuan ini memicu kekhawatiran serius mengenai dampak jangka panjang industri ekstraktif terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan mata pencaharian komunitas pesisir di Sulawesi Tengah.

Penurunan Kualitas yang Signifikan

Grafik Kerusakan Mangrove

Berdasarkan Mangrove Health Index (MHI), sebuah metode analisis spasial untuk mengukur vitalitas vegetasi, kawasan ini telah kehilangan "paru-paru" terbaiknya.

Pada tahun 2019, hampir 40 persen hutan mangrove di kawasan ini diklasifikasikan dalam kondisi "Sangat Baik" (Excellent). Hutan tersebut lebat, hijau, dan berfungsi optimal sebagai penahan sedimen serta tempat pemijahan ikan. Namun, pada tahun 2025, angka tersebut anjlok menjadi tinggal 17,7 persen.

Sebaliknya, kategori mangrove dengan kondisi "Rusak" (Poor) melonjak tajam. Dari hanya mencakup 18 hektar pada enam tahun lalu, kini area yang rusak meluas menjadi 38 hektar—peningkatan lebih dari dua kali lipat yang mengindikasikan tekanan ekologis yang ekstrem.

"Penurunan sebesar 28 hektar pada area mangrove sehat bukan sekadar angka statistik. Ini adalah indikator kuat terjadinya degradasi ekosistem yang masif dan sistematis," tulis laporan tersebut.

Secara total, kawasan ini telah kehilangan tutupan mangrove seluas 15 hektar—setara dengan luas sekitar 20 lapangan sepak bola, yang lenyap sepenuhnya dari peta hanya dalam kurun waktu enam tahun.

Jejak Industri di Pesisir

Laporan tersebut menyoroti korelasi kuat antara aktivitas pertambangan di wilayah WIUP PT TAS dengan kerusakan yang terjadi. Degradasi ini disinyalir bukan akibat fenomena alam semata, melainkan konsekuensi dari aktivitas antropogenik. Penyebab utama meliputi:

  • Perubahan Sedimentasi: Aktivitas pembukaan lahan di darat mengubah pola aliran lumpur, menimbun akar napas mangrove dan mematikannya perlahan.
  • Gangguan Hidrologis: Perubahan aliran air tawar dan laut mengacaukan tingkat salinitas yang dibutuhkan mangrove untuk bertahan hidup.
  • Potensi Konversi Lahan: Indikasi adanya alih fungsi lahan basah menjadi area operasional tambang.

Dampak Nyata bagi Manusia dan Alam

Kehancuran ini membawa konsekuensi yang melampaui sekadar data lingkungan. Bagi masyarakat Desa Torete, mangrove adalah penyangga kehidupan.

Hilangnya 15 hektar tutupan lahan dan memburuknya kualitas puluhan hektar lainnya berarti hilangnya nursery ground (tempat pembesaran) bagi kepiting, udang, dan ikan—sumber pendapatan utama nelayan tradisional. Tanpa akar mangrove yang kuat, desa pesisir ini juga kini lebih rentan terhadap ancaman abrasi dan gelombang pasang yang semakin tidak terprediksi akibat perubahan iklim.

Seruan untuk Akuntabilitas

Merespons temuan ini, rekomendasi mendesak segera dikeluarkan untuk mencegah kerusakan permanen. Langkah evaluasi menyeluruh terhadap dokumen AMDAL PT TAS menjadi prioritas utama, diikuti dengan tuntutan audit lingkungan independen.

Laporan tersebut menegaskan perlunya program rehabilitasi agresif dengan target pemulihan minimal 30 hektar, serta penegakan regulasi yang ketat.

"Tanpa intervensi segera," laporan itu memperingatkan, "kondisi mangrove akan terus memburuk, meninggalkan warisan kerusakan ekologis dan kerentanan sosial yang harus ditanggung oleh generasi mendatang di Desa Torete."

Saat industri nikel Morowali terus memacu ekonomi global, data ini menjadi pengingat keras tentang harga mahal yang harus dibayar oleh lingkungan lokal.

Fakta Singkat: Degradasi Mangrove Torete (2019-2025)

  • Lokasi: WIUP PT TAS, Desa Torete, Morowali.
  • Mangrove Sehat: Turun drastis dari 38,9% menjadi 17,7%.
  • Mangrove Rusak: Meningkat tajam dari 15,2% menjadi 36,2%.
  • Total Hilang: ±15 Hektar tutupan mangrove lenyap.
  • Penyebab: Sedimentasi tambang, pencemaran, dan konversi lahan.
Sumber: Laporan Analisis Perubahan Kondisi Mangrove, Desember 2025.